Minggu, 09 Oktober 2011

Kebobrokan Demokrasi dalam Pandangan Plato, Aristoteles & Islam




DALAM DEMOKRASI..
=> Suara seorang profesor nilainya sama dengan suara seorang idiot. Suara seorang pendeta atau pastur nilainya sama dengan seorang pendosa.
=> kebenaran diukur dari banyaknya suara, bukan dari kebenaran itu sendiri. Bila mayoritas menginginkan homoseksual maka itulah yang disahkan, walaupun dalam Injil/AlQuran jelas melarangnya.
High Cost

Meski populer dan dianggap terbaik, nyatanya demokrasi adalah sistem yang sangat mahal. Demokrasi membutuhkan biaya tinggi (high cost). Saat memberikan pidato kenegaraan di Gedung MPR/DPR, 16 Agustus tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  bahkan cemas dan prihatin dengan perkembangan demokrasi yang makin mahal ini. Meluasnya politik uang, kata SBY, hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat dan merusak demokrasi yang sedang dibangun. Praktik politik uang, katanya, pasti diikuti oleh pelakunya mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Pernyataan SBY ini tentu saja pemanis bibir saja. Pasalnya kegiatan politik dirinya dan kroni-kroninya juga mengeluarkan dana yang sangat besar. Konon biaya kampanye Pilpres pasangan SBY-Boediono menghabiskan dana terbesar dibanding pasangan calon lainnya. Biaya kampanye putra bungsu SBY, Ibas, untuk maju menjadi legislator dari Pacitan menurut politisi PDIP yang maju dari dapil yang sama, Hasto Kristianto,  menghabiskan dana Rp. 7 milyar. Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada, Sigit Pamungkas, bahkan menuding orang dekat SBY, Andi Mallarangeng, melanggengkan demokrasi yang semakin mahal melalui berbagai iklan yang digarap Fox Indonesia.

Pemilihan kepala daerah (bupati, walikota/gubernur) secara langsung makin menambah mahal harga demokrasi. Menurut Mendagri Gamawan Fauzi, minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon kepala daerah Rp 20 miliar. Untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. “Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari?,” kata Gamawan seperti dikutip Kompas.com (5/7/2010). Bank Indonesia memperkirakan pengeluaran APBD untuk 244 Pilkada tahun 2010 mencapai Rp. 4,2 triliun. Sementara menurut Gamawan Fauzi ‘hanya’ menghabiskan dana Rp 3,5 triliun saja. Fantastis!.

Demokrasi Kriminal   

Pengamat politik dari Universitas Northwestern Amerika Serikat, Profesor Jeffrey Winters menilai Indonesia merupakan negara demokrasi tanpa hukum. Hal ini berdasarkan pengamatannya bahwa pasca jatuhnya rezim Soeharto, sistem demokrasi di Indonesia justru beralih pada sistem oligarki. Akibatnya, hukum yang diharapkan bisa membatasi serta mengawal pemerintahan tidak berfungsi sama sekali. “Demokrasi tanpa hukum dampaknya adalah demokrasi kriminal. Hukum di sini justru tunduk kepada penguasa,” kata Jeffrey.

Demokrasi kriminal ini juga tidak selaras dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan pemberantasan korupsi. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Profesor Didin S Damanhuri, demokrasi politik di Indonesia belum ada relasinya terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi. Karena hingga kini Indonesia masih berada di tingkat kesejahteran ekonomi rendah. Sementara tingkat korupsi masih tinggi.    

Perkembangan demokrasi politik, kata Didin, belum mampu mendorong secara signifikan terhadap pengurangan tingkat korupsi. Bahkan dalam laporan penelitian yang bertajuk “Demokrasi politik, Korupsi dan Kesejahteraan Ekonomi”, Didin menulis dalam hubungan antara tingkat kesejahteraaan dengan korupsi, Indonesia menempatkan diri pada posisi terburuk kedua di antara 70 negara. Indonesia hanya satu level di atas Nigeria. Menyedihkan!.

Bobrok Sejak Lahir   

Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkhisme.   

Menurut Aristoteles bila negara dipegang oleh banyak orang (lewat perwakilan legislatif) akan berbuah petaka. Dalam bukunya “Politics”, Aristoteles menyebut demokrasi sebagai bentuk negara yang buruk (bad state). Menurutnya pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah berubah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan.

Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Dalam pemerintahan demokratis, kepentingan rakyat diperhatikan sedemikian rupa dan kebebasan pun dijamin oleh pemerintah. Semua warga negara adalah orang-orang yang bebas. Kemerdekaan dan kebebasan merupakan prinsip yang paling utama.

Plato mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like.” (Republic, page: 11). (…mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya, red).

Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah berbagai kerusuhan yang disebabkan berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), kejangakkan/ tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).

Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.
Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis Benjamin Constan (1767-1830) berkata: ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”

Bertentangan dengan Islam

Aneh bila ada orang yang mengatakan Islam sejalan dengan demokrasi atau demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Dikatakan oleh mereka bahwa esensi demokrasi sama dengan Islam, yakni musyawarah (syura), toleransi (tasamuh), keadilan (al-adl) dan persamaan (musawah).

Padahal inti dari demokrasi bukan itu. Dua pokok landasan (asas) demokrasi yang bertentangan dengan Islam secara diametral adalah bahwa (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat adalah sumber kekuasaan. Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat membawa konsekuensi bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara sumber kekuasaan di tangan rakyat berarti rakyatlah yang memilih penguasa untuk menerapkan hukum yang dibuat oleh mereka dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat pula yang berhak memberhentikan penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain.

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya “Ad Dimukratiyah Nizhamul Kufr” menjelaskan bahwa menurut Islam, kedaulatan (as siyadah) berada di tangan syariat, bukan di tangan umat. Artinya hanya Allah Swt sajalah yang bertindak sebagai Musyari’ (pembuat hukum). Penetapan halal dan haram, hak prerogatif Allah Swt bukan dimusyawarahkan oleh DPR. (lihat QS. An Nisa’ [4]: 60 dan 65, QS. Al An’an [6]: 57).

Kekuasaan (as-Shultan) memang milik umat. Tetapi syariat tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa. Umat tidak boleh melakukan pemberontakan selama penguasa masih menjalankan syariat Islam. Jika diketahui penguasa melakukan pelanggaran terhadap syariat yang berhak untuk menurunkan penguasa adalah Mahkamah Mazhalim, bukan rakyat.

Dari sisi teknis, sistem politik Islam juga lebih mudah dan murah. Pemilihan kepala daerah baik gubernur (Wali) maupun bupati/walikota (Amil) cukup dengan pengangkatan oleh kepala negara. Kepala Negara akan mengangkat seorang figur yang dinilainya mempunyai kapasitas, kapabilitas, cakap, adil dan amanah untuk memimpin sebuah wilayah. Tidak diperlukan biaya bermilyar-milyar untuk kampanye dan sengketa di MK. Tentu saja bebas dari korupsi. Sekarang tinggal pilih mana, demokrasi yang bobrok dan mahal atau sistem Islam yang adil, mensejahterakan, mudah dan murah?. Pilih sekarang jangan menunggu negeri ini hancur. 
sumber : http://fariedrj.blogspot.com 









Demokrasi Tak Laku di Negeri Asal



Istilah demokrasi pertama kali muncul sekitar abad 5 sebelum masehi. Kata demokrasi itu sendiri secara etimologi berasal dari dua pokok kata yang berasal dari Yunai yakni “demos” yang berarti rakyat dan “kratein” yang berarti memerintah. Dengan demikian demokrasi  bisa berarti “cara memerintah negara oleh rakyat” atau “cara rakyat memerintah negara”.
Di mana semua warga negara berhak berpartisipasi dalam proses politik, yaitu semua warga negara boleh ikut dalam dewan rakyat. Dengan demikian demokrasi berarti bahwa semua orang berhak untuk memerintah diri sendiri, yaitu untuk mengambil bagian dalam menentukan undang-undang.
Sistem demokrasi yang terjadi di negeri asalnya yakni Yunani saat itu merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat dilaksanakan secara efektif karena berjalan dalam kondisi sederhana, yaitu wilayahnya terbatas  dan jumlah penduduk sekitar 300.000. Itu pun hanya berlaku bagi warga negara yang resmi, untuk budak belian dan pedagang asing, demokrasi tidak berlaku. Dalam negara modern demokrasi sudah tidak bersifat langsung lagi, akan tetapi berdasarkan perwakilan (representative democracy).
Dua Kutub
Di negeri asalnya tersebut, sejak kelahirannya demokrasi telah menjadi sebuah perdebatan antar kalangan cerdik pandai saat itu. Pendapat yang saling bertumbrukan muncul antara Plato dan Aristotales, (F. Isjawara, 1995). Kendati Aristoteles murid Plato, namun dalam persoalan demokrasi mereka bertolak belakang. Plato merupakan penyokong utama demokrasi sedangkan Aristoteles penentang utama sistem politik demokrasi.
Gagasan Plato mengenai demokrasi setidaknya bisa dijumpai dalam bukunya yang berjudul “Republik” pada bab VIII sampai IX, membagi bentuk pemerintahan menjadi tiga macam yaitu, pertama bentuk pemerintahan yang terbaik ialah kerajaan dan bentuk merosot (degenerate form) dari kerajaan ialah tiran. Kedua, Aristokrasi sebagai bentuk pemerintahan ideal oleh beberapa orang dengan bentuk merosotnya oligarkhi. Ketiga, demokrasi sebagai pemerintahan yang baik dengan bentuk merosotnya “mobokrasi” atau “mob-rule” yaitu bentuk pemerintahan di mana rakyat memegang tampuk pemerintahan.
Sejalan dengan bentuk-bentuk pemerintahan yang baik dan yang merosot, maka ada pula warga negara yang baik dan yang buruk pula yang dapat dijumpai dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi dalam negara itu. Apa yang dilakukan Plato tersebut dalam membagi bentuk-bentuk pemerintahan yang ideal/baik dan yang buruk/jelak hanyalah berupa ide belum atau tidak ada dalam kenyataan.
Sementara itu penolakan Aristoteles terhadap demokrasi dapat dijumpai dalam bukunya yang berjudul “Politics” pada bab 6 sampai bab 13 yang memaparkan hasil riset terhadap kurang lebih 158 konstitusi terhadap negara-negara kota di Yunani, yang kemudian bukunya tersebut mengenai bentuk-bentuk pemerintahan. Tiga bentuk pemerintah atau bentuk konstitusi yang baik yaitu monarchi, aristokrasi dan “polity”. Sedangkan tiga bentuk pemerintah dengan konstitusi yang buruk/jelek ialah tirani sebagai bentuk merosot dari monarki, oligarki sebagai bentuk merosot dari aristokrasi dan demokrasi sebagai bentuk merosot dari “polity”.
Polity merupakan bentuk pemerintahan di mana seluruh warga negara turut serta mengatur negara dengan maksud mewujudkan kesejahteraan umum. “Polity” ini ditafsirkan oleh Garner dan Gilchrist sebagai bentuk pemerintahan yang menyerupai bentuk pemerintahan demokrasi konstitusional dewasa ini. Maclver menafsirkan sebagai bentuk pemerintahan di mana golongan menengah yang memegang kekuasaan pemerintahan.
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni “demos” rakyat dan “kratein” memerintah, yang ekstremnya adalah bentuk merosot daripada “polity”. Aristoteles menganggap demokrasi sebagi bentuk merosot, karena berdasarkan pengalamannya sendiri penguasa-penguasa di negara-negara kota yang demokratis dari zamannya seperti Athena adalah teramat korup.
Pandangan Aristoteles tersebut juga tampak sangat berbeda dengan kecenderungan masyarakat sekarang yang mengakui bahwa demokrasi sebagai satu-satunya sistem politik yang mampu mengantarkan kesejahteraan umum. Sehingga hampir semua negara berlomba-lomba untuk menyatakan dirinya negara demokrasi. Sementara itu dalam pandangan Aristoteles demokrasi sebagai bentuk pemerintah yang merosot dan akan membawa kebangkrutan. Hal ini terjadi karena dalam negara yang berbentuk demokrasi yang berkuasa ialah orang-orang miskin, serakah, dan tidak beradab. Hasil riset Aristoteles pada waktu itu menunjukkan bahwa para penguasa pemerintah demokrasi yang mereka laku pertama-tama dan utama ialah bagaimana berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, sementara kesejahteraan umum tidak diindahkannya.
Refleksi Kita
Dari paparan di atas maka pertanyaan yang muncul ialah pertama, kalau di negeri asalnya saja demokrasi tidak pernah dilaksanakan dan hanya berada dalam alam ide kenapa kita mesti mengkampanyekan demokrasi. Kedua, kalau toh itu dikatakan demokrasi dalam praktiknya sebagaimana yang dikemukakan Aristoteles hanya menghasilkan para penguasa yang korup yang tak pernah memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian demokrasi itu belum teruji mampu menyejahterakan rakyat di negeri asalnya sebagaimana hasil riset yang dilakukan Arietoteles.
Dan apa yang menjadi kekhawatiran dari Aristoteles tersebut hari ini menemukan kebenarannya, dan Indonesia oleh dunia barat sangat disanjung akan keberhasilannya dalam berdemokrasi. Dan kita semua bangga akan hal itu, hal ini sama saja (kalau menggunakan logika Aristoteles) kita bangga menjadi negara korup dan dalam faktanya memang korupsi merajalela, sehingga NKRI sering kali diplesetkan menjadi Negara Koruptor Republik Indonesia.
Pertanyaan ketiga apakah dengan demikian secara alam logika berpikir saja kita terjajah, atau dengan kata lain mengapa kita mesti mengadopsi (copy paste) demokrasi barat yang berasal dari Yunani tersebut. Padahal bentangan Indonesia dari Sabang sampai Merauke telah menyimpan kekayaan yang luar biasa, tidak saja akan alam dan budayanya, akan tetapi juga sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan, pergantian kekuasaan, dan sebagainya yang sempat tumbuh dan berkembang dalam puluhan kerjaaan, baik besar maupun kecil. Sayangnya kekayaan itu tidak pernah kita gali, kembangkan dan majukan, atau kita masih minder dan belum percaya diri menjadi orang Indonesia lantaran proses penjajahan ratusan tahun selalu menempatkannya pada posisi terendah/bawah. (*)


sumber : http://www.gema-nurani.com

5 komentar:

  1. Sementara itu dalam pandangan Aristoteles demokrasi sebagai bentuk pemerintah yang merosot dan akan membawa kebangkrutan. Hal ini terjadi karena dalam negara yang berbentuk demokrasi yang berkuasa ialah orang-orang miskin, serakah, dan tidak beradab

    karena mayoritas orang miskin makanya mereka berkuasa? itu gimana maksudya? orang miskin berkuasa?

    BalasHapus
  2. Bagaimana pandangannya menurut plato dan aristoteles mengenai demokrasi?

    BalasHapus
  3. Apa pendapat plato tentang demokrasi

    BalasHapus
  4. benar2 terbukti pada jaman ini terutama di indo

    BalasHapus